Bagi Sahabat yang ingin mengirimkan artikel silahkan kirim ke alamat: pc.pmiikukar@gmail.com

Friday, January 20, 2017

Relokasi Pasar Tangga Arung Tenggarong Dalam Dilema

Aksi penolokan relokasi pasar Tangga Arung Tenggarong
Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan untuk seluruh rakyat.
(Kwik Kian Gie)
Sejarah bangsa Indonesia, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah penindasan. Dimulai dari penjarahan era kolonialisasi-imperialisme untuk kepentingan akumulasi kekayaan Borjuasi Hindia-Belanda, sampai era neoliberisme-kapitalisme dengan sekian regulasi yang pada intinya menfasilitasi korporat bermodal besar—nasional maupun internasional—dalam memperkaya diri. Dimana ujungnya rakyat Indonesialah yang menjadi tumbal. Tragisnya, penjarahan itu berbarengan dengan tindakan kekerasan berupa perampasan, pengusiran, pemenjaraan, pembunuhan dst., dengan memanfaatkan peran militer, polisi  satpol pp dan aparatur pemerintah lainnya. Mereka seolah menjadi anjing penjaga kekayaan tuan untuk menghadapi perlawanan rakyat.
Kekerasan tersebut lumrah terjadi di Indonesia, sampai hari ini, termasuk dalam kasus relokasi pasar Tangga Arung, kecataman Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara. Berawal dari SK Bupati Kukar yang kemudian di teruskan oleh tim teknis dari Disperindakop Kukar dan dikawal oleh penetapan perda. Idealnya pemindahan dari titik ke titik lainnya atau dari satu tempat ke tempat lainnya harusnya sama antara tempat yang dipindahkan dengan tempat yang disediakan. Jika jumlah yang pindahkan lebih sedikit dari jumlah yang akan di tempati, maka itu bukanlah relokasi tetapi pengusiran atau penggusuran. Lantas, dimana  nilai-nilai ekonomi kerakyatan Indonesia–yang selama ini dijakan semboyan –bertujuan membawa kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan untuk seluruh rakyat ?
Fakta menunjukkan, pedagang pasar Tangga Arung yang akan direlokasi berdasarkan data dari Disperindakkop Kukar berjumlah 1.078 petak, sedangkan petak yang tersedia dipasar mangkurawang hanya 676 petak saja. Dari 676 petak yang tersedia, hanya 298 petak bisa ditempati oleh pedagang eks tangga arung, sisanya ditempati pedagang lokal mangkurawang  dan 27 petak diantaranya dijadikan konpensasi pemilik tanah sebagai diganti rugi. Disana masih ada pedagang yang berjualan diluar gedung, merekalah sebagian dari pedagang yang tidak mendapat lapak dipasar mangkurawang. Jadi relokasi pasar ini, tidak dapat menjadi solusi bagi korban penggusuran pasar Tangga Arung.
Kini di pasar Tangga Arung masih menyisakan 780 pedagang yang belum direlokasi, 541 diantaranya sudah di bongkar lapaknya dan tidak tau kemana harus mencari nafkah. sedangkan mau berjualan dipinggir jalan sebagai pedagan kaki lima, jelas tidak mungkin. Tidak ada jaminan bagi mereka yang menjadi pedang kaki lima, mereka seolah terabaiakan karena Disperindakop berpegang pada aturan bahwa PKL yang terkena relokasi tidak menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab dalam perda nomor 5 tahun 2006 tentang PENATAAN PKL pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa “kepala daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan”.
Dari permasalah itulah, mereka yang menjadi korban relokasi berteriak mengadukan nasibnya kepada pemerintah didampingi para sahabat dari PMII, IPNU,LP-KPK dan LI TIPIKOR. Mereka mengeluh karena tidak mendapatkan lapak atau jikapun mendapatkan lapak  sepi pembeli yang mengakibatkan menurunnya pendapatan. Jika ditotal kerugian para pedagang mencapai Rp. 300 Juta, angka yang tidak kecil bagi para pedagang. Belakangan memang ada solusi dari pemerintah yang akan membangun 260 lapak disekitar pasar mangkurawang, padahal masih ada 780 pedagang belum mendapatkan lapak, bukankah itu berarti masih menyisakan 520 pedagang lagi yang tanpa lapak?.
Selanjutnya, akan muncul masalah baru dimana lahan yang akan digunakan untuk dibangun lapak adalah lahan sewa, walaupun Bupati menggunakan dana pribadinya untuk membayar sewa. Tetapi ketika diatas lahan sewa itu akan dibangun lapak dengan menggunakan dana pemerintah, maka perlu diingat bahwa dalam UU no 2 tahun 2012 tentang PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Pasal 11 ayat 1 menjelaskan bahwa “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah”. Sedangkan, penggunaan dana pribadi oleh pejabat daerah untuk ganti rugi program pemerintah, tetap tidak etis sifatnya, sebab ini adalah urusan pemerintah, bukan Bupati secara pribadi.
Kami yang tergabung dalam “Aksi Solidaritas Rakyat Jelata” menyuarakan apa yang menjadi tuntutan para pedagang korban penggusuran, menolak penggusuran pasar Tangga Arang. Dalam aksi tersebut, para pedagang membawa sayur busuk yang tidak laku sebagai bentuk penolakan secara simbolik terhadap relokasi pasar Tangga Arung. Akan tetapi, Bupati tetap bersih keras dan tidak menerima aspirasi dari para demonstran. Bahkan yang lebih pahit lagi, dua orang mahasiswa dikeluarkan dari forum tanpa alasan yang jelas dari Bupati. Hal itu, membuat para demonstran marah dan mendorong pagar pendopo bupati hingga roboh. Kemudian terjadi aksi bentrok antara polisi dan demonstran, sepuluh mahasiswa ditangkap oleh kepolisian karena diduga sebagai provokator. Ini justru membuat para demonstran semakin marah.
Perlakuan represif ini disayangkan oleh para demontran. Ini justru melegitimasi  pemerintah yang anti kritik, pemerintah yang anti kritik tak lebih baik dari sampah dan harus dilawan. Karena penindasan adalah ulah setan.
HIDUP RAKYAT…!!!
MERDEKA…!!!
*Korban represi pemerintah dalam advokasi korban penggusuran pasar Tangga Arung Tenggarong.

Oleh: Ahmad H. A.*

No comments:

Post a Comment