Bagi Sahabat yang ingin mengirimkan artikel silahkan kirim ke alamat: pc.pmiikukar@gmail.com

Sunday, January 17, 2016

Teror dan Sudut Pandang Yang Hilang

Jelang siang, 14 Januari 2016, segerombolan teroris kembali menghentak publik di Jakarta. Sontak, media massa kemudian jor-joran memberitakan. Para pengamat mengulitinya. Para pejabat negara mengutukinya. Organisasi-organisasi keagamaan mengecamnya. Juga masyarakat luas, terutama di medsos, orang ramai mencaci-makinya. Tak lupa, pernyataan belasungkawa juga mengalir deras kepada korban. Nyaris semuanya itu atas nama kemanusiaan!
Oleh karena itu, harus kita akui bahwa di titik ini para teroris berhasil. Setidaknya, eksistensi mereka benar-benar diakui khalayak. Dalam pemberitaan bahkan berhasil meminggirkan isu-isu lain (yang sesungguhnya tak kalah penting).
Lantas, setelah festival caci-maki dan tebaran kebencian buat para teroris berlangsung, seperti biasa, ada pesan yang hendak disampaikan para teroris yang seringkali luput (atau sengaja ditutupi) dari amatan kita. Luput masal itu, sebab akal sehat kita tertutup oleh amarah dan kebencian. Sementara di sisi lain tentu akan berbahaya jika khalayak membaca terorisme dari perspektif kelas sosial, karenanya analisis kelas harus ditutupi serapat mungkin.

Dan tertutupnya akal sehat, baik karena luput sebab emosi atau karena ada elemen-elemen yang menutupi, tentu akan mengacaukan penilaian kita. Sehingga, persoalan sesungguhnya tentang terorisme tak pernah tersentuh. Yang tertangkap oleh umum (juga para tokoh) secara dangkal hanya bahwa para teroris ingin diakui eksistensinya, dan parahnya mereka terjebak dalam isu identitas belaka (misal isu agama atau aliran).
Kalau kita perhatikan secara detil, serangan teroris ada di pusat kota Jakarta, dan yang menjadi sasaran adalah Starbuck Coffee, Pos Polisi, dan (depan) Hotel Sarinah. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa Starbuck? Mengapa Pos Polisi? Mengapa Hotel Sarinah? Ini adalah pesan simbolik yang harus kita cermati.
Pertama, bom di Starbuck. Kita bisa mengira-ngira, kenapa tempat ngopi kelas elit itu yang menjadi sasaran? Kedua, pos polisi. Bagi rakyat kecil, kira-kira kemana keberpihakan polisi selama ini? Lalu Hotel Sarinah adalah hotel yang sudah pasti rakyat miskin tak bisa menginap disana.
Ketiga sasaran teroris itu, secara simbolik, hendak menunjukkan bahwa sasaran terorisme adalah sesuatu yang dekat dengan modal (Amerika), lalu aparat negara, kelas elit, bule, dan sesuatu yang dianggap berbau kafir (melihat korbannya). Dan kita tahu bahwa ketiganya (Starbuck, Hotel Sarinah, dan Pos Polisi) jauh dari simbol rakyat jelata!
Soal warga sipil yang jadi korban? Kita memang pantas mengutuk teroris disini. Sebab, ketika mengebom, kita tahu, bahwa ledakan bom tidak bisa memilih korban sehingga dikategorikan extra ordinary crime.
Teror Bagi Jelata
Rakyat jelata di Indonesia, kalau kita mau jujur, sesungguhnya sudah mengalami teror dalam kesehariannya. Apakah teror kebutuhan (sandang, pangan, papan, kesehatan, dan biaya hidup lainnya), teror penggusuran, atau bahkan teror aparat negara. Dan aparat negara, seringkali dikendalikan oleh para elit, baik penguasa politik maupun pemodal.
Jadi, melihat sasaran terorisme adalah simbol dari sesuatu yang jauh dari rakyat jelata, kira-kira apa yang dibayangkan rakyat kecil ketika peristiwa teror itu terjadi? Bukankah tindakan para teroris kemudian (khawatirnya) mendapat pembenaran dari rakyat jelata? Atau, bukankah rakyat jelata yang tertindas terus-menerus adalah orang-orang yang sangat potensial menjadi teroris ketika diberi sentuhan ideologi radikal-ekstrimis?
Pertanyaan-pertanyaan berbahaya diatas harus kita fikirkan sejak sekarang. Artinya, jika selama ini kita menganggap persoalan terorisme adalah persoalan kesadaran belaka (atau persoalan identitas), yang solusinya adalah program deradikalisasi; maka sejak saat ini kita harus memikirkan yang lebih mendasar, yaitu pembongkaran atas struktur sosial yang menindas. Sebab kita tahu, struktur sosial yang menindas itu menumbuh-suburkan terorisme.
Dan terakhir, bagaimanapun, menghilangkan nyawa orang lain, tetap tidak bisa dibenarkan. Baik yang dilakukan oleh para teroris, atau yang dilakukan oleh aparat negara demi kepentingan kapital!
Blandongan, 16 Januari 2016
*Penulis adalah mahasiswa Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama kawan-kawan Epistemic Institute antara lain Dafit Ahmad dan Aziz Askari.

No comments:

Post a Comment